OAKLANDPOLICEBEAT — Jakarta – Equine-assisted therapy alias terapi berkuda dinilai sebagai pendekatan inovatif dalam mendukung kesehatan mental dan pemberdayaan penyandang disabilitas.
Terapi ini sudah diterapkan di beberapa negara seperti Jepang dan Malaysia. Terapi ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan pula di Indonesia.
Hal ini disampaikan oleh Profesor Ryuhei Sano, Ph.D. dari Hosei University, Jepang. Menurutnya, konsep human-horse well-being telah dikembangkan di Hosei University sebagai pendekatan inklusif yang menggabungkan aspek kesehatan, edukasi, riset, dan keadilan sosial.
Prinsip kami sederhana: Aktivitas berkuda harus dapat diakses semua orang, termasuk mereka yang memiliki disabilitas. Tujuannya bukan sekadar terapi, tetapi juga untuk membangun martabat dan rasa percaya diri,” ujar Sano dalam seminar internasional Pusat Studi Gender, Anak, Lansia, dan Disabilitas (PSGALD) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Sabtu (12/7/2025).
Sano menambahkan, terapi berkuda memiliki keunikan karena melibatkan interaksi langsung dengan hewan yang responsif. Gerakan ritmis alami kuda juga berdampak positif bagi sistem saraf, regulasi emosi, dan ketenangan diri. Selain itu, aktivitas ini juga dapat melatih keseimbangan tubuh, koordinasi motorik, serta keberanian dalam bersosialisasi.
Sano mengungkapkan bahwa di Jepang, lebih dari separuh penyandang disabilitas kini mengalami gangguan psikososial. Sebagian besar disebabkan tekanan sosial yang tinggi, terutama pada generasi muda. Ia menyoroti budaya kompetitif yang menuntut mahasiswa untuk siap kerja bahkan sebelum lulus kuliah, sebagai salah satu pemicu utama gangguan mental.
“Saya yakin Indonesia menghadapi tantangan serupa, bahkan lebih kompleks karena populasi yang lebih besar. Oleh karena itu, ruang-ruang pemberdayaan disabilitas yang mendukung secara mental dan ekonomi sangat dibutuhkan,” tambahnya.
Buka Peluang Kerja bagi Difabel dalam Industri Kuda
Sebagai langkah nyata, Hosei University turut membuka peluang kerja bagi penyandang disabilitas di industri kuda, yang membutuhkan banyak tenaga kerja di berbagai sektor.
Upaya ini menunjukkan bahwa terapi berkuda tidak hanya bermanfaat dari sisi kesehatan, tetapi juga mampu menciptakan ekosistem ekonomi yang inklusif.
Dalam kesempatan tersebut, Sano mengajak perguruan tinggi di Indonesia, khususnya UMY, untuk menjadi pionir dalam pengembangan equine-assisted therapy dengan model inklusif sebagaimana diterapkan di Jepang.
“Saya percaya UMY memiliki potensi besar untuk menjadi kampus pertama di Indonesia yang mengembangkan kegiatan ini, sebagai dukungan terhadap kesehatan mental, pemberdayaan disabilitas, serta penguatan identitas lokal. Inilah yang akan menjadi pembeda sekaligus kontribusi nyata bagi masyarakat,” tutup Sano.