Jakarta, oaklandpolicebeat– Massa yang tergabung dari berbagai elemen masyarakat melakukan aksi menolak penulisan ulang sejarah dan dugaan pemutihan dosa Orba di depan Kemenbud. (26/6)
Sejarah adalah cerminan perjalanan sebuah bangsa. Namun, bagaimana jika narasi tersebut hanya menampilkan satu sisi, sementara korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dilupakan? Belakangan, muncul gerakan #TolakSejarahPalsu yang menuntut penulisan sejarah lebih adil, termasuk mengakui kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Kasus HAM yang Sering Terabaikan
Beberapa peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia, seperti Tragedi 1965, Kerusuhan Mei 1998, Penembakan Misterius (Petrus) 1980-an, dan konflik Papua, sering kali hanya dibahas sepintas atau dihilangkan dari buku pelajaran. Padahal, ribuan korban dan keluarga mereka masih menuntut pengakuan dan keadilan.
Dampak Penghapusan Sejarah HAM:
- Pembentukan Memori Kolektif yang Bias – Generasi muda hanya mengenal versi resmi tanpa memahami penderitaan korban.
- Hambatan Rekonsiliasi – Tanpa pengakuan negara, korban sulit mendapatkan rehabilitasi dan pemulihan.
- Pengulangan Kekerasan – Sejarah yang tidak jujur berisiko mengulangi kesalahan yang sama.
Aksi Masyarakat Sipil dan Para Korban
Berbagai kelompok, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, dan keluarga korban, terus mendesak pemerintah untuk:
- Mengintegrasikan kasus HAM dalam kurikulum pendidikan
- Membuka akses arsip negara terkait pelanggaran HAM
- Memperkuat Komnas HAM dan pengadilan HAM
Bagaimana Kita Bisa Terlibat?
- Edukasi Diri – Cari tahu sejarah alternatif melalui buku, dokumenter, atau kesaksian korban.
- Dukung Kampanye – Ikuti gerakan seperti #IndonesiaTanpaLupa atau petisi untuk revisi buku sejarah.
- Suarakan di Media Sosial – Gunakan platform digital untuk membahas pentingnya narasi sejarah yang adil.
Menolak penulisan sejarah yang mengabaikan HAM bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang membangun masa depan yang lebih adil. Jika kita diam, kita ikut membiarkan ketidakadilan terus terjadi.(26/6/2025)
“Sejatinya, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai setiap cerita rakyatnya—tanpa kecuali.”